-BENAK REKTOR-

KAJIAN TRANSDISIPLINER (2) RAMADAN DAN REKONSTRUKSI PERADABAN: KAJIAN TEO-SOSIO-PSIKO-ATROPO-NEURO EKONOMI

Dipublish Tanggal 17 April 2025 Pukul 20:01 Prof. Dr. Husain Insawan, M.Ag - Rektor IAIN Kendari

Peradaban (civilazation) tidak hanya berupa peradaban yang bersifat fisik saja, tetapi juga peradaban mental-spiritual-kognitif manusia. Peradaban fisik perlu dirawat dengan sebaik-baiknya sehingga mampu bertahan selama ratusan, ribuan, bahkan jutaan tahun nantinya. Demikian pula peradaban mental-spiritual-kognitif manusia mampu diwariskan secara berkelanjutan hingga kiamat tiba dan setelahnya. Salah satu upaya untuk memaintenance peradaban mental-spiritual-kognitif yang kita milik yakni hadirnya Ramadan dalam setiap tahun.

Ramadan ini senantiasa sukses merekonstruksi peradaban Teo-Antroposentris manusia yang selalu terbarukan setiap tahun karena dengan Ramadan kaum beriman akan mengatur pola ibadah ritualnya, mulai dari salat fardu, tarawih, witir, salat sunnat lain dan tadarrus al-Quran. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tentu harus menyadari bahwa dirinya lahir ke dunia berkat campur tangan Tuhan, sehingga wajib baginya untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Adalah suatu pembangkangan (kufr) yang teramat sangat, bila manusia selaku ciptaan Tuhan tidak membalas budi baik pada Tuhan, meskipun Tuhan tanpa disembah oleh manusia, tidak akan menjadi rendah derajat-Nya dan sesungguhnya Tuhan tidak butuh dengan semua itu. Ketundukan dan kepatuhan ditunjukkan melalui ibadah salat, baik ketundukan teologis, sosiologis, maupun secara fisikawi. Membesarkan Tuhan tanpa ada satu entitas pun yang menyetarai-Nya; mentakzimi-Nya tanpa ada yang melebihi-Nya; merendahkan diri di hadapan-Nya dengan teramat dalam; dan meneguhkan prinsip untuk selalu meyakini-Nya tanpa menyerikatkan-Nya. Semua itu diwujudkan dalam bentuk salat fardu atau salat sunat. Kemudian membaca, mentelaah, mengungkap makna, mengakhlakkan, dan mempraktikkan kandungan Alquran dalam kehidupan sosial serta mengajarkannya sebagai wujud meliterasi dan mentadabburi Alquran secara paripurna.

Dalam perspektif Psiko-Sufistik, manusia akan menertibkan niat, wirid dan zikirnya. Saat momentum Ramadan tiba, kaum muslimin yang menjalankan ibadah puasa selalu mengalami kesiapan mental spiritual yang nyaman dan damai serta merasakan kenikmatan ruhani yang sangat dalam, sehingga mereka senantiasa menertibkan niat sucinya untuk beribadah secara khusyu kepada Allah swt dan tidak mau kehilangan kesempatan sedetik pun untuk tetap fokus pada-Nya. Waktu yang tersisa di sela-sela salat dimanfaatkannya untuk wirid dan berzikir yang membuat hatinya menjadi tenang dan tenteram tanpa beban psikologis yang menderanya. Di saat Ramadan kaum muslimin merasa sangat dekat dengan Allah swt seolah menjadi seorang yang menjalani kehidupan sufi dan menganggap bahwa setiap niat dan tindakan yang dilakukan terasa dipantau oleh Malaikat. Dengan begitu, ia sangat takut untuk berbuat maksiat dan kesalahan yang berkonsekuensi dosa dan sebaliknya justru hendak memaksimalkan zikir dan ibadah sosial lainnya yang dapat mendatangkan pahala berlipat ganda.

Secara Antropo-Neurologi, kehadiran Ramadan akan merangkai pikiran positif manusia beriman. Jika di luar Ramadan terkadang manusia berpikir kurang positif maka pada saat Ramadan tiba orang beriman akan senantiasa memunculkan cakrawala berpikir positif. Pandangannya selalu terhindar dari prasangka buruk (negative thinking) dan menimbang sesuatu secara matang dengan mengedepankan prasangka baik (positive thinking). Ramadan sejatinya menyasar dan menata pikiran manusia untuk selalu berada pada koridor yang lurus dan jernih tanpa interes tertentu. Memang pikiran manusia yang positif selalu kontras dengan pemikiran yang negatif. Dua kutub pemikiran yang diametral inilah yang sulit untuk memenangkan pemikiran positif di tengah kehidupan manusia. Seseorang biasanya diselimuti dengan pikiran negatif (negative thinking) yang dominan dengan mengabaikan pikiran positif (positive thinking). Oleh karena itu melalui momentum Ramadan, pemikiran negatif manusia dikembalikan semula menuju ke pemikiran positif yang menjadi fitrah manusia sesungguhnya. 

Ramadan secara Sosio-Psikologis mengajarkan manusia untuk menata tutur kata, tindakan, penampilan, pergaulan, hingga suasana batinnya menjadi lebih baik dibandingkan dengan di luar Ramadan. Jiwa dan batin seseorang terasa damai dan tenteram sehingga berimbas pada pola interaksinya dengan anggota masyarakat yang juga semakin ramah dan bersahaja. Tidak mudah memang untuk mengelola perkataan kita secara baik, namun pada saat Ramadan seorang yang berpuasa harus selalu menjaga tutur katanya pada orang lain agar orang tidak merasa tersinggung disebabkan oleh perkataannya yang kasar. Berkata kasar pada orang lain tidak hanya menyakiti hati tetapi juga membuat jiwa kita tidak tentram karena telah menyakiti orang lain, sehingga pada saatnya kota harus legowo untuk meminta maaf pada orang yang disakiti. Dengan begitu hati kita akan merasa tenang dan tentram, pun demikian pada orang yang tersakiti. Perkataan kasar dan menyinggung perasaan di bulan Ramadan tidak hanya menyakitkan hati, tetapi juga dapat menghilangkan pahala atas puasa yang dilakukan karena puasa tidak hanya menahan makan, minum dan seks siang hari melainkan juga harus menjaga lisan dari perkataan buruk dan menyakitkan hati. 

Demikian pula dalam paradigma Sosio-Ekonomi, Ramadan hadir untuk mengajak manusia agar memperbanyak zakat, infak, sedekah, berbagi materi dan perhatian kepada kaum dhuafa serta ibadah sosial lainnya. Jiwa filantropi manusia akan teruji pada saat Ramadan tiba. Kepekaan sosial manusia pun akan dipertaruhkan ketika Ramadan menjelma. Apakah seseorang akan layak dianggap beriman manakala tidak menyisihkan sebagian hartanya untuk diberikan pada orang lain yang membutuhkan atau untuk penyediaaan fasilitas sosial lainnya? Semua akan terjawab pada saat Ramadan karena di bulan ini setiap harta yang disisihkan sekecil apapun akan diganjar pahala berlipat ganda. Bila seseorang menyadari sepenuhnya bahwa Ramadan datang membawa berkah, maka ia pasti akan berlomba untuk menyisihkan sebagian hartanya agar entitas sosial termarjinalkan dapat menikmati pemberian tersebut secara baik. Berfilantropi tidak harus ketika kita punya harta banyak atau harus memiliki waktu luang untuk bersedekah, tetapi meski harta kita sedikit dengan waktu yang sempit sekalipun, kita harus menyisihkan sebagian harta kepunyaan kita agar bisa dinikmati orang  lain atau dapat dimanfaatkan secara sosial untuk
membangun fasilitas umum di tengah masyarakat. Pahala yang didapatkan sebagai konsekuensi eskatologis dari kegiatan kedermawanan yang kita lakukan akan berlipat ganda hingga mencapai 700 kali lipat. Suatu ganjaran pahala yang sangat besar sebagai investasi kita di akhirat kelak(*)

Lainnya