-BENAK REKTOR-

IDUL ADHA, HAJI DAN QURBAN RELEVANSINYA DENGAN FEMININITAS, GENEOLOGI, DAN LEADERSHIP

Dipublish Tanggal 06 June 2025 Pukul 09:13 Prof. Dr. Husain Insawan, M.Ag - Rektor IAIN Kendari


Idul Adha secara etimologis berarti “kembali ke waktu dhuha” atau “kembali berkurban” karena “udhiyah” berarti “menyembelih atau berkurban”, atau bermakna pula “kurban yang disembelih pada waktu dhuha setelah selesai menunaikan shalat Idul Adha. Idul Adha tidak menghendaki agar manusia beribadah mahdhah saja, akan tetapi juga dapat dilakukan dengan cara berqurban untuk dikonsumsi kaum dhuafa; tidak sebatas silaturahmi dan memaafkan orang, melainkan panggilan kebersamaan untuk mengokohkan Ketuhanan, yang dikenal dalam Alquran dengan istilah Millata Ibrahim.

Millah/Theistik atau keyakinan kepada Tuhan model Ibrahim ini muncul berdasarkan hasil observasi dan kajian kritis terhadap fenomena ayat-ayat alam yang membentang dan nomena ayat-ayat sosial kemasyarakatan yang mewujud. Theistik model Ibrahim mengajarkan tentang hubungan vertikal kepada Tuhan dan relasi horizontal terhadap sesama manusia. Theistik Ibrahim mengajarkan iman dan ilmu sekaligus. Shalat yang diperkenalkan Ibrahim dan Muhammad tidak hanya didirikan untuk mempertebal keimanan, tetapi juga mengajak manusia agar mampu menangkap pesan-pesan sains yang tersirat di dalamnya.

Shalat Perspektif Transdisipliner 

Empat gerakan utama shalat yakni berdiri, rukuk, sujud, dan duduk, dapat dipahami secara Teologis, Sosiologis, dan Fisika. Secara Teologis ketika orang berdiri dan takbir berarti membesarkan Allah tanpa ada yang menandinginya; secara Sosiologis bermakna bahwa setiap orang tidak boleh sombong dalam pergaulan hidup sehari-hari; dan secara Fisika melambangkan unsur api yang selalu merangsang manusia agar selalu bergelora dan dinamis.

Kemudian gerakan rukuk, secara Teologis berarti mengagungkan Allah atau mentakzimi-Nya; secara Sosiologis bermakna saling hormat menghormati sesama manusia; dan secara Fisika menyimbolkan unsur angin yang selalu berhembus ke tengah di antara langit dan bumi.

Selanjutnya gerakan sujud, secara Teologis berarti meninggikan Allah tiada satupun yang melebihinya; secara Sosiologis bermakna bahwa manusia harus selalu merendahkan diri (tawadhu) dalam pergaulan; dan secara Fisika melambangkan unsur air yang sifatnya selalu mencari bidang yang rendah.

Sedangkan gerakan duduk, dalam perspektif Teologis berarti keteguhan diri (istiqamah) untuk menyatakan bahwa segala keberkahan, pujian, dan kebaikan adalah milik Allah, serta mendeklarasikan bahwa tiada Tuhan selain Allah tanpa sekutu bagi-Nya dan Muhammad sebagai Rasul-Nya; secara Sosiologis bermakna bahwa kita harus mengakui keberadaan agama dan keyakinan lain tanpa menyalahkannya; dan secara Fisika melambangkan unsur tanah, bukit atau gunung yang selalu tampak kokoh dan tidak mudah goyah.

Demikian pula dengan Shalat Idul Adha dapat dipahami pesan Filosofis-Matematiknya. Shalat Idul Adha memiliki 7 kali takbir pada rakaat pertama dan 5 kali takbir pada rakaat kedua, sehingga jumlah keseluruhannya adalah 12 kali takbir. Angka 12 ini menunjukan jumlah bulan di dalam setahun yang bermakna bahwa kita sebagai Muslim harus senantiasa bertakbir kepada Allah selama 12 bulan secara berturut-turut atau sepanjang tahun dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain secara terus menerus, tanpa mengenal ruang dan waktu.

Idul Adha Sekaitan Dengan Haji: Perspektif Sains

Pelaksanaan Shalat Idul Adha memiliki keterkaitan erat dengan ritual ibadah haji yang dilakukan oleh kaum muslimin. Ibadah Haji memiliki pesan-pesan moral yang menarik untuk dipahami. Ibadah Haji merupakan syariat Islam yang wajib ditunaikan oleh kaum muslimin dan muslimat di dunia bagi yang mampu. Haji tidak hanya merupakan ibadah ritual semata, tetapi juga menjadi objek kajian sains yang bernuansa Obstetri-Ginekologi-Feminin yang memperkenalkan tentang gender, reproduksi, dan proses kelahiran anak manusia yang secara gamblang dapat diterangkan sebagai berikut:  

1) Memakai Pakaian Ihram yang berwarna putih merupakan simbol kesucian. Hal ini adalah isyarat bahwa bayi pada saat dilahirkan masih dalam keadaan suci, bersih tanpa noda, seperti pakaian ihram yang berwarna putih. Ketika memakai pakaian ihram, jamaah haji tidak boleh mengenakan pakaian dalam. Sebagai suratan bahwa manusia sejak lahirnya tidak membawa harta apapun, termasuk pakaian di badan.

2) Thawaf sebagai ritual yang dilakukan dengan cara berputar mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali. Secara metaforik merupakan suatu gambaran bahwa bayi juga berputar sebanyak 7 kali selama 7 bulan dalam rahim ibu, yang mana 2 bulan sebelumnya menempel pada dinding rahim ibu, sehingga bayi bersemayam dalam kandungan ibu rata-rata secara normal selama 9 bulan.

3) Sa’i adalah berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan bukit Marwah, yang melukiskan peristiwa Ibunda Hajar bergerak dinamis mencari air untuk menghilangkan rasa dahaga anaknya Ismail AS, lalu kemudian menemukan air Zam-zam. Hal ini menggambarkan keadaan bahwa bayi ketika berada dalam kandungan ibu selalu bergerak dinamis dan selalu menangis saat dilahirkan untuk segera disusui oleh ibunya agar terobati rasa hausnya dan sebagai penanda bahwa begitu berat amanah Allah yang diberikan kepadanya untuk bertindak sebagai khalifah. Secara metaforik dapat diungkapkan bahwa bukit Shafa dan bukit Marwah merupakan sumber air Zam-zam ibunda Ismail AS.

4) Melempar Jumrah adalah simbol doa dan ikhtiar yang dilakukan oleh ayah dan ibu agar anak yang dilahirkan adalah anak saleh/salehah yang kelak dapat “melempar” jauh-jauh kenistaan dan berharap sebaliknya mendapatkan rezeki, jodoh, dan kebaikan hidup dunia dan akhirat, serta menghiasi diri dengan sifat dan perilaku yang baik.

5) Tahallul adalah rukun haji, di mana para jamah calon haji wajib untuk menjatuhkan sebagian atau keseluruhan rambut yang ada di kepala. Hal ini mengingatkan kembali pada peristiwa setelah bayi dilahirkan, di mana bayi yang baru lahir harus diaqiqah, yakni dicukur sebagian atau keseluruhan rambut bayi oleh tokoh agama atau tokoh adat yang diiringi dengan pembacaan Kitab Barzanji tentang sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW hingga wafat. Setelah itu diberikan nama dan disembelihkan 2 ekor kambing, bila anaknya laki-laki dan 1 ekor kambing bila anaknya perempuan.

Tahallul ini, sesungguhnya menitip pesan kepada kita bahwa kita sudah pernah berkurban untuk yang pertama kalinya, yaitu ketika kita diaqiqah pada waktu baru dilahirkan. Namun kemudian harus dibuktikan secara hakiki pada saat Idul Adha tiba dengan berkurban untuk yang kedua kalinya, ketika kita sudah dewasa dan memiliki harta. Mengapa harus 2 kali..? karena kali yang kedua itulah menjadi ukuran pembuktian yang hakiki. Bukankah Alquran memberikan analogi bahwa manusia itu 2 kali mati dan 2 kali hidup serta 2 kali bersyahadat..? Kematian, kehidupan, dan syahadat kedua itulah yang menjadi ukuran pembuktian di dunia sebagai bekal menuju negeri akhirat. Sekaitan dengan hal ini, perhatikan QS. Al-Baqarah: 28

كَيۡفَ تَكۡفُرُونَ بِٱللَّهِ وَكُنتُمۡ أَمۡوَٰتٗا فَأَحۡيَٰكُمۡۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمۡ ثُمَّ يُحۡيِيكُمۡ ثُمَّ إِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ  ٢٨

“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.

Contoh lain sebagai pembuktian adalah berkaitan dengan persaksian manusia yang terjadi 2 kali, yaitu 1 kali ketika berada di alam rahim dan persaksian sesudah dilahirkan, seperti disebutkan dalam QS. Al-A’raf ayat 172:

وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ...  ١٧٢

”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi".

Inilah syahadat pertama yang kita ikrarkan di dalam rahim ibu dan selanjutnya memerlukan pembuktian ketika kita sudah lahir dan dewasa. Dalam arti kita harus kembali bersyahadat setiap kali shalat sebagai sarana pembuktiannya.

6) Wuquf. Wuquf adalah rukun haji yang bermakna berhenti atau diam sejenak, di mana kaum muslimin dari berbagai belahan dunia berkumpul pada satu tempat yang dinamai Arafah. Wuquf dikenal sebagai puncak ibadah haji dan momentum pelantikan untuk menjadi seorang haji yang paripurna. Hal ini merupakan simbol bahwa dari mana pun asal negaranya dan apapun suku bangsanya, masing-masing terbentuk berdasarkan hasil pembuahan dari ayah dan ibu, yang tumbuh dan berkembang di dalam satu wadah yang disebut rahim ibu. Wuquf juga bermakna bahwa pada saat bayi dilahirkan, hampir semua keluarga besarnya berhenti sejenak dari pekerjaan dan berkumpul di rumah kediaman atau di rumah sakit untuk menanti dan menyaksikan kelahiran bayi manusia.

7) Mabit di Muzdalifah dan Mina. Mabit artinya bermalam, yakni kewajiban haji yang dilakukan dengan cara bermalam di wilayah Muzdalifah dan Mina. Hal ini menggambarkan situasi bayi sebelum dilahirkan, ia berada dalam rahim ibunya seolah-olah berada pada keadaan malam yang gelap gulita. Matanya pun belum terbuka untuk melihat  keadaan di sekitarnya. Jamaah haji dapat Mabit dengan bermalam langsung dan turun dari kendaraan atau Murur, yakni para jamaah tetap berada di atas kendaraan dengan berdiam beberapa saat sembari membaca Talbiyah dan memanjatkan doa kepada Allah SWT. Murur merupakan kebijakan yang ditempuh oleh Kementerian Agama RI dan sah secara syar’i untuk menghindari berdesak-desakannya para jamaah haji, sehingga bisa berakibat fatal, bila tidak dihindari, terutama para Lansia.

Berdasarkan uraian di atas, maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa seorang ibu yang mengandung dan melahirkan; serta bayi yang dikandung dan dilahirkan, sesungguhnya “sudah menjalani dan mempraktikan” sebagian dari rukun dan wajib haji, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan menunaikan ibadah haji atau umrah ke tanah suci Makkah dan Madinah serta berqurban.

Dengan demikian, maka secara subtantif, bahwa melaksanakan ibadah Haji dan ibadah qurban merupakan bentuk penghargaan yang amat tinggi terhadap keberadaan perempuan dan proses kelahiran anak manusia di dunia ini.

Qurban dan Filosofinya

Sekaitan dengan Idul Adha pula, kita melakukan penyembelihan hewan qurban. Ibadah Qurban merupakan ibadah sosial yang memiliki makna mendalam. Penyembelihan hewan qurban bermakna pemusnahan terhadap sifat-sifat hewani yang menggerogoti jiwa manusia, sehingga lupa akan kebesaran Tuhan dan terkadang menistakan manusia lainnya sebagai makhluk mulia hasil ciptaan Tuhan yang tertinggi. Berkurban merupakan momentum “mendekatkan diri” kepada sesama manusia, merajut ukhuwah islamiyah secara lebih kokoh yang diwujudkan dalam bentuk penyerahan hewan qurban kepada kaum dhuafa, karena memang kata “qurban” itu berasal dari bahasa Arab yang berarti “dekat”.

Penyembelihan hewan qurban itu ditujukan untuk 2 hal, yakni untuk nazar dan untuk sedekah. Bila penyembelihan hewan qurban itu untuk nazar, maka daging qurban tidak boleh dikonsumsi oleh orang yang berqurban, sedangkan bila penyembelihan hewan qurban itu untuk sedekah, maka pemilik hewan boleh mendapatkan sebagian kecil dari daging qurban yang disembelih. Berqurban sebaiknya dilakukan ketika kita masih hidup. Tetapi juga kita bisa berqurban untuk orang yang sudah meninggal dengan niat bersedekah, lalu pahala dari sedekah tersebut diniatkan untuk orang yang sudah meninggal itu. Adapun hewan yang dikurbankan bisa berupa kambing, sapi, kerbau, atau domba yang disesuaikan dengan kemampuan dan tradisi lokal yang telah berjalan, tetapi dengan syarat hewan tersebut harus dipastikan kesehatan dan kehalalannya.

Ucapan takbir pada Idul Qurban adalah proklamasi atas kebebasan manusia setelah bekerja keras secara sistematis melawan hawa nafsunya sebulan penuh pada bulan Ramadhan sebelumnya. Ramadhan bulan pemutihan yang mengantar manusia memasuki gerbang fitrah yang didorong oleh semangat kesetiakawanan sosial melalui zakat, infaq, dan sedekah, lalu mencapai puncaknya pada hari raya Idul Adha ini dan bagi mereka yang mampu secara sengaja akan mendatangi “Baladil Amin” atau “Negeri Yang Aman”, yakni tanah suci Mekkah yang menjadi pusat bumi, tempat Ka’bah berdiri kokoh di dalamnya.

Ka’bah adalah artefak yang didesain oleh Ibrahim AS. sebagai hasil dari implementasi ibadah qurban yang dilakukan bersama anaknya Ismail AS. Ka’bah merupakan bangunan fenomenal yang dilindungi Allah dari segala bentuk marabahaya. Tentara Abrahah yang dikenal perkasa dengan mengendarai gajah, pun tidak sanggup menghancurkannya. Bangunan Ka’bah menjadi ikon Arab Saudi yang menghasilkan income bagi masyarakat dan negara. Hal ini bermakna bahwa konstruksi bangunan ikonik juga sangat urgen untuk dibangun dan dipelihara.

Ibrahim as. Sang Leader Visioner

Pada bagian lain dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim AS. dikala hidupnya selalu berpihak pada kebenaran. Ibrahim Muda tidak pernah putus asa mengajak ayahnya seorang Paganis yang menyembah berhala agar mengimani Allah SWT. Walau pada akhirnya Ia diusir dari lingkungan keluarganya. Ibrahim Muda, memiliki iman yang kokoh dan pikirannya amat brilian karena berhasil membawa misi revolusi akidah dan kenegaraan di masanya. Ibrahim mampu membangun dialektika antara pesan ayat-ayat Teologis dengan ayat-ayat Sosiologis yang berkaitan dengan kondisi masyarakatnya kala itu. Ia berani berdebat dengan Raja Namrudz yang berakhir dengan proses penangkapan dan pembakaran dirinya. Bukan hanya itu, Ibrahim Tua juga diperintahkan untuk mengorbankan sebagian tubuh dan belahan jiwanya, yakni ia memotong kulupnya dan menyembelih anak tunggalnya Ismail AS. Suatu peristiwa yang amat mengharukan, sekaligus menakjubkan. Akhir dari perjalanan hidupnya itu, Ibrahim Tua diberi “Lembaran Suci” oleh Allah yang berisi ajaran dan janji yang mengikat dirinya sebagai Nabi dan Pemimpin, yang kita kenal dengan sebutan Shuhuf Ibrahim, seperti disebutkan dalam Quran Surat al-A’la: 18-19.

إِنَّ هَٰذَا لَفِي ٱلصُّحُفِ ٱلۡأُولَىٰ  ١٨ صُحُفِ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ  ١٩

“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab permulaan (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa”

Sebagai Nabi dan Pemimpin, Ibrahim tidak saja memperhatikan ketakwaan diri dan keluarganya, tetapi juga memikirkan ketakwaan masyarakatnya. Ketakwaan yang dibangun Ibrahim adalah ketakwaan transformatif yang memiliki visi jauh ke depan dan multidimensional yang terimplementasi melalui kedatangan jamaah haji ke Baitullah yang tidak pernah berhenti sampai dunia ini kiamat. Haji merupakan muktamar akbar kaum muslimin se-dunia yang di dalamnya juga membawa agenda ekonomi, politik, sosial dan budaya. Selain itu, risalah Tauhid yang diemban Ibrahim dilanjutkan oleh keturunannya, yakni Nabi Ismail dan Nabi Muhammad yang membawa risalah Islam.

Leadership Merujuk Pada Pesan Idul Adha, Haji dan Qurban

Unsur pokok dari sebuah daerah yang damai dan sejahtera adalah hadirnya pemimpin yang visioner. Pemimpin visioner adalah pemimpin yang memiliki pandangan jauh ke depan dan pemimpin yang mengamalkan pesan-pesan berganda Idul Adha, Haji dan Qurban. Pemimpin yang dirindukan rakyatnya adalah: 1) pemimpin yang memiliki niat suci untuk membangun seperti kesucian pakaian ihram; 2) pemimpin yang fokus pada program pembangunan, seperti orang yang membangun Masjidil Haram; 3) pemimpin yang mampu membuat jejaring kerjasama, seperti orang yang ber-Thawaf; 4) pemimpin yang mampu bernegosiasi, seperti orang yang ber-Sa’i; 5) pemimpin yang memperhatikan kaum perempuan dan anak-anak, seperti Allah memperhatikan kehidupan Ibunda Hajar dan Ismail AS; 6) pemimpin yang bersikukuh memperjuangkan kepentingan rakyat, seperti kekokohan Hajar Aswad; 7) pemimpin yang menolak kemungkaran dan menganjurkan kebaikan, seperti orang yang melempar Jumrah; 8) pemimpin yang melahirkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat, seperti orang yang ber-Tahallul; 9) pemimpin yang selalu berbagi dengan rakyatnya seperti orang yang ber-Qurban; 10) pemimpin yang mendapatkan legitimasi rakyat, seperti orang yang ber-Wuquf di padang Arafah; 11) pemimpin yang mampu membangun fasilitas monumental dan bertahan lama, seperti Ibrahim yang membangun Ka’bah; 12) pemimpin yang selalu berpikir, merenung, dan berdoa di tengah malam seperti orang yang ber-Mabit di Muzdalifah dan Mina; serta 13) pemimpin yang patuh pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, seperti orang yang mengikuti aturan berhaji dan berqurban.(*)

Lainnya