-BENAK REKTOR-

PARADIGMA MARGIN ANTIRIBA

Dipublish Tanggal 29 May 2025 Pukul 19:24 Prof. Dr. Husain Insawan, M.Ag - Rektor IAIN Kendari

 

Diskursus mengenai perbankan syariah seolah belum juga usai karena masih banyak kalangan publik mempertanyakan, apakah perbankan syariah itu memang benar-benar syar’i atau baru mendekati syar’i. Pertanyaan ini tentu harus dijawab dengan tegas karena publik masih menganggap bahwa bank syariah identik, untuk tidak mengatakan sama dengan bank konvensional. Faktor inilah yang menjadi salah satu faktor penghambat mengapa kemudian bank syariah masih sulit berkembang pesat di Indonesia dan masih tertatih-tatih menapaki langkah ke depan menjadi bank yang menduduki posisi puncak papan atas secara nasional. Oleh karena itu diperlukan kerja keras dan kerja cerdas untuk mempromosikan ke publik bahwa eksistensi bank syariah memiliki perbedaan mendasar dengan bank konvensional, baik secara teoritis maupun secara praksis. Tidak hanya itu, yang paling penting adalah bagaimana menjelaskan kepada publik dan meyakinkan para calon nasabah bahwa produk yang ditawarkan memang benar sesuai dengan prinsip syariah. Misalnya tentang selisih keuntungan (margin) yang diperoleh pihak bank syariah dalam skim jual beli murabahah. Apakah tidak melewati batasan yang diperkenankan syar’i atau tidak. Hal ini perlu dipertegas terutama paradigma yang dirujuk oleh para Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari bank syariah tersebut, baik di kantor pusat atau di kantor region dalam menetapkan margin yang diperbolehkan syar’i. Kalau batasan ini masih kabur, maka boleh jadi bank syariah jatuh dalam praktik riba juga. Padahal komitmen awal didirikannya bank ini adalah untun mengikis habis praktik bunga yang di pandangan sebagai riba menurut perspektif syar’i. Namun sebaliknya, kita tidak mengambil langkah agar segera menetapkan batasan kategori riba dan tidak ribanya produk bank syariah yang ditawarkan ke publik dan calon nasabah. Ditambah dengan sosialisasi yang belum masif dilakukan, semakin menambah sengkarut persepsi yang keliru di kalangan masyarakat. Bila hal  ini sudah jelas dan dipublikasikan secara baik, maka hampir bisa dipastikan bahwa publik atau calon nasabah banyak yang akan meminjam dan berinvestasi pada bank syariah dan secara otomatis akan mendongkrak posisi pendapatan dan total aset dari bank syariah secara nasional. 

Pada konteks ini perlu dipertimbangkan beberapa paradigma yang akan membedah dan menempatkan suatu skim apakah riba atau bukan riba, sebagai rujukan penetapan besaran margin produk bank syariah di Indonesia, sehingga kita tidak terperosok dalam jebakan riba yang membingungkan publik dan calon nasabah. 

Pertama, Paradigma Al-Ziyadah. Paradigma ini memandang bahwa berapapun besaran kelebihan margin yang ditetapkan oleh pihak bank atas produk yang ditawarkan dan dipinjamkan kepada nasabah tetap divonis sebagai riba dan ditetapkan hukumnya haram. Misalnya nasabah meminjam 100 juta, maka nasabah harus mengembalikan sebesar 100 juta pula tanpa ada kelebihan walau sebesar 1 rupiah saja dan meskipun dipinjam dalam jangka waktu yang cukup lama. Paradigma ini dinilai cukup ekstrem karena tidak mempertimbangkan biaya yang digunakan bank syariah sebagai pihak yang memberikan pinjaman. Bank syariah tidak akan mendapatkan fee atau keuntungan manakala tidak ada kelebihan margin yang ditetapkan sebagai keuntungan. Skim jual beli yang ditetapkan pun pasti harus ada keuntungan yang diperoleh. Tidak ada jual beli atau pinjam-meminjam dalam konteks perbankan yang tidak diperoleh hasil berupa keuntungan. Berbeda halnya bila pinjam meminjam atau hutang piutang secara person to person boleh saja tidak ada kelebihan (fee) yang ditetapkan karena sangat tergantung pada pemberi pinjaman atau hutang. Namun bila sudah masuk dalam ranah perbankan, maka sudah pasti harus ada keuntungan yang bisa diperoleh dari sana. Paradigma ekstrem ini menempatkan bank syariah seolah menjadi lembaga filantropi atau lembaga amal yang tidak memungut biaya dan pemberian dari pihak lain. Jika paradigma ini yang diterapkan maka alamat bank syariah akan gulung tikar di mana-mana dan impian kita untuk menjadi bank syariah mampu berkompetisi dengan bank konvensional yang menempati posisi papan atas amat sulit terwujud.

Kedua, Paradigma Adh’afan Mudha’afan. Paradigma ini menilik bahwa margin yang ditentukan boleh saja sangat tinggi namun tidak sampai melebihi 100%. Misalnya, produk jual beli atau pinjaman ditetapkan 100 juta, maka total lunas pengembaliannya tidak boleh melebihi 200 juta. Dengan perhitungan 100 juta modal dan 100 juta margin keuntungan yang diperoleh pihak bank. Margin 100 juta inilah yang harus dibagi waktu pengembaliannya dan dirinci besaran cicilan yang harus diangsur, apakah selama 12 bulan, 24 bulan, 36 bulan dan seterusnya. Manakala ada kelebihan dari 100 juta itu, walau hanya 1 rupiah saja, maka yang 1 rupiah itu dikategorikan sebagai riba. Paradigma ini dipandang sangat liberal karena penetapan marginnya hingga mencapai 100% dan sangat eksploitatif. 

Ketiga, Paradigma ZIS (Zakat, Infak dan Sedekah). Paradigma ini menawarkan margin yang merujuk pada ketetapan syariah bahwa harta yang sudah tiba nishab dan haulnya harus dikeluarkan zakatnya. Bila hartanya berupa emas dan perak atau perhiasan maka zakatnya 2,5% wajib dikeluarkan. Termasuk pula dalam konteks ini gaji atau penghasilan lain yang sudah mencukupi waktunya secara rutin diterima, meskipun tidak cukup setahun, seperti zakat profesi yang bisa dikeluarkan setiap bulan atau setiap kali diterima dapat dikeluarkan zakatnya 2,5%. Sementara itu, harta yang diperoleh dari usaha pertanian yang pengairannya berasal dari hujan, maka zakatnya 5% wajib dikeluarkan. Sedangkan harta yang diperoleh sebagai hasil pertanian yang mendapatkan bantuan irigasi dari pemerintah, maka zakat yang dikeluarkan sebesar 10% dari total harta yang dikumpulkan. Apabila harta yang diperoleh dalam setahun bersumber dari barang tambang maka zakatnya sebesar 20% dari total bersih kekayaan yang dikumpulkan dalam setahun. Zakat 20% inilah yang dikenal dengan istilah khumus atau 1/5 dari 100%. Misalnya, nasabah meminjam 100 juta, maka total pengembaliannya boleh Rp. 102.500.000 hingga mencapai batasan tertinggi Rp. 120.000.000 termasuk modal. Artinya bank hanya memperoleh keuntungan 2,5 juta sampai 20 juta rupiah yang terdistribusi dalam 12 bulan, 24 bulan, 36 bulan atau lebih. Paradigma ini dinilai cukup moderat sebagai jalan tengah antara yang ekstrem dan liberal karena tidak sampai menihilkan keuntungan yang diperoleh bank dan tidak pula membiarkan bank jatuh ke dalam praktik rentenir yang berlipat ganda. Paradigma ini cukup solutif untuk meyakinkan nasabah sehingga mereka berani untuk meminjam dan tidak segan berinvestasi pada bank bank syariah di Indonesia. Wallahualam bil shawab.(*)

Lainnya