-BENAK REKTOR-

HAJI DAN MAULID: RELASI SIMBOLIK DALAM SIKLUS KEHIDUPAN MANUSIA

Dipublish Tanggal 18 September 2024 Pukul 06:04 Prof. Dr. Husain Insawan, M.Ag - Rektor IAIN Kendari

Haji dan Maulid merupakan dua bentuk ritual penting dalam tradisi Islam yang memiliki perbedaan mendasar dalam tata cara pelaksanaan serta makna yang diusung. Haji adalah salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan bagi mereka yang mampu, berupa perjalanan spiritual menuju Haramain (Makkah dan Madinah) untuk melaksanakan rukun dan wajib haji. Setiap tahunnya, jutaan umat Islam dari seluruh dunia berkumpul untuk menunaikan ibadah haji. Menurut data dari Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi, pada tahun 2023, lebih dari 1,8 juta jamaah dari luar negeri menunaikan ibadah haji, dengan lebih dari 200 ribu jamaah berasal dari Indonesia, negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Sebaliknya, Maulid merupakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW., yang diperingati secara luas oleh umat Islam, terutama di Indonesia. Peringatan ini dilakukan secara individu maupun komunal dan di beberapa komunitas, kemeriahannya dapat menyaingi perayaan dua hari raya besar dalam Islam (Idul Fitri dan Idul Adha).

Peringatan Maulid memiliki keunikan tersendiri di Indonesia, sebuah fenomena budaya yang jarang ditemukan di negara-negara muslim lain. Perayaan ini kerap melibatkan upacara adat, pengajian, serta berbagai kegiatan sosial dan keagamaan. Fenomena ini mencerminkan kekayaan tradisi Islam Nusantara. Meskipun secara etimologis, maulid berarti “kelahiran”, penggunaannya dalam konteks sosial budaya telah berkembang menjadi bagian integral dari kehidupan religius masyarakat Indonesia. Lalu, apakah ada keterkaitan mendalam antara Haji dan Maulid yang tampak berbeda dari segi prosedur dan maknanya itu?

Jika ditinjau lebih dalam, kedua ritual ini memiliki keterkaitan simbolis yang erat, khususnya dalam konteks kehidupan manusia. Haji yang terdiri dari berbagai rukun seperti Ihram, Tawaf, Sa’i, dan Wukuf, sebenarnya mencerminkan fase-fase kehidupan manusia, mulai dari masa kelahiran hingga pasca kelahiran. Salah satu simbolisme yang paling jelas adalah ketika jamaah haji mengenakan pakaian ihram berwarna putih. Pakaian ini melambangkan kesucian, yang mana keadaan ini mencerminkan kondisi bayi yang baru lahir dalam keadaan bersih tanpa noda dosa. Data psikologis menunjukkan bahwa manusia mengalami masa kritis perkembangan emosional dan spiritual saat dilahirkan, sebuah periode yang secara simbolik juga direpresentasikan dalam beberapa ritual haji.

Ritual tawaf, di mana jamaah mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, juga menyiratkan makna mendalam. Dalam tradisi Islam, gerakan ini disimbolkan sebagai putaran janin dalam rahim. Terdapat keterkaitan antara fenomena biologis dan spiritual dalam ritual ini. Menurut data medis, janin memang mengalami beberapa fase perkembangan yang melibatkan gerakan, termasuk rotasi tubuh, sebelum dilahirkan.

Selain itu, ritual sa’i, yaitu berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah, juga memiliki analogi dengan perjalanan seorang ibu mencari air untuk bayinya. Dalam konteks psiko-sosial, bayi yang baru lahir memerlukan air zam-zam berupa air susu ibu (ASI) yang secara simbolis digambarkan dalam peristiwa yang dialami oleh Hajar dan Ismail as. Menurut data WHO, pemberian ASI eksklusif pada bayi berperan penting dalam mendukung perkembangan kognitif dan fisik anak, sebagaimana Hajar berupaya mencari air untuk kelangsungan hidup putranya.

Ritual lain yang tidak kalah penting adalah tahallul, yaitu pengguntingan rambut sebagian atau seluruhnya setelah sa’i. Dalam tradisi Islam, hal ini mencerminkan kelahiran, di mana bayi yang baru lahir sering kali menjalani aqiqah dengan prosesi pemotongan rambut sebagai simbol kesucian. Data menunjukkan bahwa tradisi ini masih dipraktikkan secara luas oleh umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah kelahiran tahunan yang mencapai lebih dari 4 juta bayi.

Tak hanya itu, ritual mabit di Mina dan Muzdalifah menggambarkan kondisi bayi yang “berdiam sementara” dalam rahim ibunya selama masa prenatal. Sedangkan lempar jumrah, sebagai simbol penolakan terhadap kejahatan yang juga dapat dihubungkan dengan tradisi azan dan iqamah yang dibisikkan di telinga bayi untuk melindunginya dari godaan setan. Ini adalah salah satu bentuk perlindungan spiritual yang masih dipraktikkan secara luas di Indonesia.

Puncak ibadah haji, yaitu wukuf di Padang Arafah yang merepresentasikan momentum penting di mana umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul di satu tempat. Kondisi ini sama halnya dengan keluarga dan kerabat yang berkumpul menantikan kelahiran seorang bayi. Kehadiran jamaah haji dari berbagai negara juga mencerminkan keragaman global umat Islam, sebagaimana data menunjukkan bahwa pada tahun 2023, lebih dari 160 negara mengirimkan jamaah haji.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya, haji tidak hanya dimaknai sebagai ritual fisik, tetapi juga sebagai perjalanan spiritual yang menyiratkan makna-makna simbolis terkait kehidupan manusia. Ritual ini menggambarkan siklus kehidupan dari sebelum kelahiran hingga sesudahnya, mengingatkan umat Islam akan pentingnya menjaga kesucian hidup. Berhaji, dalam hal ini, identik dengan menjaga nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana Maulid merayakan kelahiran Nabi Muhammad saw. yang diidentikkan dengan kelahiran nilai-nilai moral dan spiritual dalam kehidupan manusia.

Akhirnya, penting bagi kita untuk mengapresiasi peran Kementerian Agama, yang setiap tahunnya mengorganisir perjalanan haji untuk ratusan ribu jamaah Indonesia. Pada tahun 2023, pemerintah Indonesia berhasil memberangkatkan lebih dari 200 ribu jamaah haji dengan dukungan logistik dan koordinasi yang melibatkan ribuan petugas. Semua ini dilakukan untuk memastikan kelancaran ibadah, serta memfasilitasi umat Islam dalam menunaikan kewajiban spiritual yang sekaligus membantu mereka merenungi perjalanan hidup dari sebelum lahir hingga akhirnya kembali ke Sang Pencipta.