Penulis
Fahmi Gunawan
Dosen IAIN Kendari
Fenomena pandemik
corona virus desease-19 atau covid-19 tidak hanya membawa
mudharat tetapi juga membawa kemaslahatan.
Kemudharatan itu dapat dilihat dengan banyaknya jumlah kasus yang terinfeksi hingga mencapai 601.238 dengan korban meninggal mencapai 27.432 di 199 negara, sementara di tanah air jumlah itu mencapai 1.285 kasus yang terpapar dengan jumlah korban jiwa mencapai 114 meninggal (Kompas, 29/03/2020). Bukan hanya korban jiwa, tetapi juga korban material yang tidak terhitung jumlahnya. Karena semakin merebaknya kasus Corona, semua aspek kehidupan, seperti aspek keagamaan, sosial-budaya, politik, pendidikan, hukum, dan lainnya menjadi terganggu dan mengalami penyesuaian disana-sini. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, jika sebagian norma agama sosial budaya, dan pendidikan yang sudah mengakar kuat di masyarakat berubah karena mewabahnya virus Corona. Perubahan ini sejalan dengan pendapat Filsuf Yunani, Heraclitus, yang mengatakan bahwa tidak ada yang abadi selain perubahan (
Nothing endures but change). Bahkan,
Qaulul Qadim Imam Syafii dalam hukum Islam berubah menjadi
Qaulul Jadid karena persoalan perubahan konteks geografis.
Selain aspek
kemudharatan, terdapat pula aspek
kemaslahatan kasus Covid-19. Aspek kemaslahatan itu dapat dilihat dari berbagai perspektif, seperti antropologi, ekonomi, sosiologi, agama, dan linguistik. Dari aspek linguistik, ada banyak istilah baru yang muncul dengan mewabahnya virus Sars-Cov-2. Ketika istilah ini merebak, cara yang paling mudah dilakukan adalah dengan meminjam
(borrowing technique) kata tersebut di dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari sebaran data yang digunakan, yaitu penggunaan istilah-istilah bahasa Inggris
lockdown, local lockdown, hand sanitizer, work from home (WfH), social distancing, physical distancing, panic buying, disinfectant, tagline, global panic, resources, local transmission, local transmitter, carrier, dan berbagai macam istilah lainnya. Wardaugh, seorang pakar sosiolinguistik, mengatakan bahwa peminjaman kata adalah sebuah cara untuk menambah leksikon baru dalam sebuah bahasa, termasuk istilah-istilah yang berkaitan dengan covid-19.
Persoalan serap-menyerap bahasa ini bukanlah hal asing karena persoalan ini sudah terjadi di dalam bahasa apapun di dunia. Bahasa Arab Alquran,
Miskāt, Istabraq, Qistās, misalnya, merupakan serapan dari bahasa Ethopia dan Persia. Kata
karantina, karakter, kolega yang terdapat di dalam bahasa Indonesia juga berasal dari bahasa Belanda
quarantaine, karakter, dan collega. Demikian pula, kata
jurnal, kampung, Minggu dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Portugis,
jornal, campo, Domingo. Hadirnya istilah-istilah asing ini tentu memunculkan sebuah fenomena baru di tengah masyarakat. Mereka yang tidak terbiasa dengan istilah-istilah asing itu kemudian dapat mempermainkannya sehingga memunculkan tawa di kalangan mereka. Karena kondisi semacam inilah mengapa berbagai macam permainan kata yang berwujud humor covid-19 itu lahir.
Norrick menegaskan bahwa permainan kata merupakan sebuah bentuk humor cerdas kreatif yang menggunakan kata-kata sebagai subjek utama terutama untuk tujuan hiburan. Bukan hanya itu, Banas dkk dalam tulisannya berjudul
A Review of Humor in Educational Setting: Four Decades of Research mengungkapkan bahwa humor juga berfungsi sebagai sarana melepaskan stress dan galau akibat
stay at home terlalu lama, membantu merangsang komunikasi dan hubungan dengan orang lain dan dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Namun demikian, sebagai sebuah fenomena universal, humor di setiap bangsa, suku, atau kelompok masyarakat memiliki persepsi yang berbeda tentang apa yang dianggap lucu sehingga memunculkan tawa. Bisa jadi, di suatu daerah, sebuah kasus dianggap lucu sementara di daerah lain tidak dianggap lucu. Ini karena persoalan budaya dan konteks percakapan yang berbeda baik yang dibuat secara sadar maupun tidak sadar. Kemudian, Norrick melanjutkan bahwa bentuk permainan kata yang memiliki efek lucu itu berupa bunyi, huruf, makna, nama, dan majaz.
Kata Corona, misalnya, seringkali diplesetkan menjadi
colorna. Kata yang pada awalnya bermakna
penyakit berubah menjadi
pakaian dalam seseorang. Efek kejut ini muncul ketika diketahui secara persis bagaimana konteks percakapannya. Selain itu, dalam sebuah vidio viral masyarakat Bugis pedesaan, kata Corona juga diplesetkan menjadi
karoma oleh salah seorang warga desa. Dalam konteks orang Bugis, tentu plesetan ini memicu tawa karena kata pertama bermakna penyakit sementara kata kedua bermakna kurma atau makanan yang bisa dimakan. Masih dengan Corona, kata ini juga seringkali diplesetkan menjadi
coro-coroang atau cepat emosi
.
Selain kata Corona, kata
lockdown juga banyak dimanfaatkan untuk memunculkan tawa dengan diplesetkan menjadi
smackdown. Hal ini terjadi karena kedua kata tersebut memiliki kemiripan kata. Selain itu, kata
lockdown juga diplesetkan menjadi
download di sebuah postingan Facebook. Bahkan kata
lockdown tidak hanya berfungsi untuk menghibur, tetapi juga mendidik ketika kata itu dimaknai dalam versi Bugis. Huruf L bermakna
Lokkako tuli bissai jarimmu (cuci tanganlah selalu). O bermakna
ondroko akko bolamu (di rumah saja).
Capako tuli messu nagasako corona (waspadalah sering keluar karena corona selalu mengintai). K bermakna
ko pellangi essoe, rakkoi alemu (Kalau matahari bersinar, berjemur dirilah selalu). D bermakna
dongo ko hah ko ciako marangkalinga ada (Bodoh sekali kamu, jika tidak mau mendengar nasehat). O bermakna
olahraga ko elei (Berolah raga di pagi hari). W bermakna
wettu 5e aja mutettangi (Shalat lima waktu janganlah kamu tinggalkan). N bermakna
Ngajiko daripada tuli maccule hape (Membaca Alquranlah selalu daripada bermain HP). Jika permainan kata di Sulawesi Tenggara, Indonesia, dimanfaatkan untuk memicu munculnya efek lucu dan tawa bagi pembaca di masa pandemik covid-19 sebagai sebuah hiburan, di Itali dan China Meme atau gambar visual lebih cenderung banyak dimanfaatkan untuk menghibur diri dan melepaskan stress dan kegalauan.
Akhirnya, hiburan berupa humor di masa pandemik covid-19 ini terasa begitu penting untuk dilakukan. Selain untuk memunculkan tawa, juga untuk mendidik masyarakat tentang segala hal yang berkaitan dengan virus Corona
wa akhawātuhā. Tentu, hal ini dilakukan dengan menggunakan kearifan lokal budaya Indonesia yang berwujud permainan kata, terutama permainan kata dari masyarakat Sulawesi pada umumnya dan Sulawesi Tenggara pada khususnya. Wallahu ‘Alam.