Ideologi Di Balik Polemik Penerjemahan Al-Qur'an

Novi Rahmilia 18-05-2024 (15:52:55) Opini 1005 times
Dr. Fahmi Gunawan, M.Hum,
Dosen Linguistik, IAIN Kendari
 
Setelah terbitnya tulisan saya mengenai "Polemik Penerjemahan Al-Qur'an Kembali Memanas", seorang kolega dalam sebuah diskusi kelompok di WhatsApp akademik memberikan masukan agar tema pembahasan polemik ini tidak hanya terbatas pada persoalan cara menerjemahkan, tetapi ditarik ke ranah yang lebih luas terkait persoalan ideologi. Dia lalu mempertanyakan bahwa apakah polemik cara menerjemahkan kata Asy-Syu'ara itu berkaitan dengan idelogi penerjemahan ataukah tidak? Apakah ada hubungannya cara menerjemahkan dengan ideologi penerjemah? ataukah cara menerjemahkan dipengaruhi oleh ideologi penerjemahan dan kemudian ideologi penerjemahan dipengaruhi oleh ideologi penerjemah? Bagaimana penjelasannya dalam studi penerjemahan?
 
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena menurutnya, polemik perbedaan cara menerjemahkan hanyalah bingkai dari sebuah wacana ideologi besar yang dikonstruksi di media sosial. Ideologi besar itu laksana puncak gunung es yang tampak kecil di atas dan besar di bawah. Penerjemahan kata Asy-syu'ara yang memunculkan polemik merupakan puncak gunung es yang tampak kecil, namun sesungguhnya polemik yang lebih besar adalah pertarungan ideologi identitas kelompok keagamaan di Indonesia. Mari kita ikuti ulasan berikut.

Para pakar penerjemahan mengungkapkan bahwa cara kita menerjemahkan sebuah teks dipengaruhi oleh ideologi penerjemahan yang kita anut. Ideologi penerjemahan mencakup prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan pilihan-pilihan yang diterapkan penerjemah dalam proses penerjemahan. Ideologi penerjemahan tidak hanya mencakup aspek teknis penerjemahan seperti pilihan kata, struktur kalimat, dan gaya, tetapi juga mencerminkan pandangan dunia, etika, dan tujuan penerjemah dalam menyampaikan pesan dari teks sumber ke teks sasaran. Mereka kemudian membagi ideologi penerjemahan menjadi dua, yaitu ideologi forenisasi dan ideologi domestikasi. Ideologi forenisasi merupakan kecenderungan penerjemahan untuk mempertahankan keaslian dan kekhasan bahasa sumber, sementara ideologi domestikasi merupakan kecenderungan penerjemahan untuk membuat teks lebih mudah dipahami, diterima, populer, dan kontekstual di kalangan pembaca bahasa sasaran.

Dalam polemik penerjemahan kata Asy-Syu'ara, Ustad Adi Hidayat (UAH) menggunakan ideologi penerjemahan domestikasi, sementara Ustad Muflih Saputra (UMS) menggunakan ideologi penerjemahan forenisasi. Mungkin ada yang bertanya, apakah ideologi forenisasi lebih baik daripada ideologi domestikasi? Atau sebaliknya, ideologi domestikasi lebih baik daripada ideologi forenisasi? Jawabannya tentu tidak. Tidak ada satupun ideologi yang lebih baik dari yang lain. Hal itu karena ideologi penerjemahan merupakan persoalan pilihan, nilai dan prinsip yang dianut oleh masing-masing Ustadz. Oleh karena itu, tidak ada yang salah dalam penerjemahan kata Asy-Syu'ara menjadi 'para penyair dan para pemusik' oleh UAH. Yang justru bermasalah itu adalah pandangan yang tidak mau menghargai dan menghormati pandangan orang yang berbeda. Hal itu karena keduanya memiliki argumentasi yang memang berbeda.   

Demikian pula, pembahasan mengenai cara menerjemahkan dan ideologi penerjemahan tentu tidak akan terlepas dari ideologi penerjemah secara pribadi. Ideologi pribadi meliputi keyakinan dan nilai yang terbentuk dari latar belakang pendidikan, pengalaman hidup, identitas budaya, serta konteks sosial, budaya, dan politik yang melingkupinya. Jadi, seorang penerjemah itu tidak bekerja dalam ruang hampa. Seorang penerjemah yang memiliki latar belakang pendidikan dalam studi gender akan lebih sensitif terhadap isu-isu gender dan berusaha menerapkan bahasa yang inklusif gender dalam terjemahannya. Sebaliknya, penerjemah dengan latar belakang konservatif akan lebih cenderung mempertahankan bahasa yang mendukung struktur sosial yang ada. Dengan demikian, ideologi penerjemah dapat mempengaruhi interpretasi dan penyampaian doktrin keagamaan.

Ada banyak contoh yang dapat kita gunakan sebagai pembuka wawasan. Terjemahan Al-Qur'an Islamabad karya Maulawi Sher Ali mencerminkan ideologi Ahmadiyah. Ideologi Sunni dapat ditemukan dalam terjemahan Al-Qur'an karya Muhammad Taqiuddin Al-Hilali dan Muhammad Muhsin Khan di Madinah Al-Munawwarah. Terjemahan Al-Qur'an karya Edip Yuksel di Amerika Serikat merefleksikan ideologi reformisme. Terjemahan Al-Qur'an Ahmed Ali mengandung ideologi reformisme. Ideologi Islam transnasional dapat ditemukan dalam terjemahan Al-Qur'an tafsiriyah Muhammad Thalib.

Dengan demikian, polemik penerjemahan kata Asy-Syu'ara bukan hanya perdebatan tentang bagaimana cara menerjemahkan sebuah kata, tetapi lebih dari itu, perdebatan antara ideologi kelompok identitas keagamaan yang membolehkan dan mengharamkan musik. Kelompok yang membolehkan tergolong kelompok keagamaan yang progresif, sementara kelompok yang mengharamkan tergolong kelompok keagamaan yang konservatif. Ini juga berarti bahwa kelompok yang mempertahankan makna kata Asy-Syu'ara dengan 'para penyair' tergolong kelompok konservatif, sementara kelompok yang memaknai kata Asy-Syu'ara dengan para penyair yang sekaligus pemusik masuk dalam golongan kelompok yang progresif. Perdebatan kedua kelompok identitas keagamaan ini, menurut saya, tidak akan pernah ada habisnya.

Selain itu, konteks penerjemahan juga memainkan peran penting dalam menentukan ideologi penerjemahan yang dianut. Konteks penerjemahan kata Asy-Syu'ara oleh UAH dilakukan di dalam sebuah forum pengkajian yang dihadiri oleh para cendekia, bukan pengajian yang dihadiri oleh masyarakat umum. Itu berarti bahwa konteks pembicaraannya adalah konteks akademik. Dengan demikian, semakin jelas bahwa penerjemahan bukanlah proses yang netral atau objektif. Setiap keputusan yang diambil oleh penerjemah mencerminkan serangkaian pilihan ideologis yang lebih besar.

Dengan demikian, pengaruh ideologi dalam penerjemahan menunjukkan bahwa terjemahan adalah hasil dari proses negosiasi yang kompleks antara teks sumber, konteks sosial, dan ideologi penerjemah. Penerjemah tidak hanya menyampaikan kata-kata dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi juga menafsirkan dan mengontekstualisasikan makna dalam kerangka ideologis tertentu. Dengan memahami hal ini, kita akan lebih menghargai kompleksitas dan saling menghargai perbedaan pendapat yang muncul, lantas tidak secara langsung mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengan kita.