BRUTALITAS vs PERDAMAIAN 

Novi Rahmilia 06-02-2024 (14:28:21) Opini 20 times
Konferensi besar studi keislaman Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-23 di Semarang, yang dihelat tanggal 1 - 4 Februari 2024 resmi ditutup oleh Menteri Agama (Gusmen). 

Konferensi yang mengkaji tema besar tentang mendefiniskan ulang peran agama dalam menangani krisis kemanusiaan, menghadirkan banyak narasumber dari berbagai belahan dunia.

Menarik, pidato penutupan yang disampaikan Gusmen bahwa tema yang diplih AICIS-23 ini sebagai tema yang dinilai sangat aktual, di mana paling tidak ada dua konflik besar yang sedang terjadi dan menjadi latar utamanya, yakni konflik Palestina-Israel dan krisis Rusia-Ukraina. Dampak dari dua konflik besar kali ini lebih dahsyat bila dibandingkan dengan perang dunia I dan II. Tidak hanya dari segi jumlah korban, tetapi juga dampaknya yang multi dimensi dan ikut dirasakan dampaknya oleh banyak negara. Sembari memberikan contoh dampak Perang Dunia II dan Genosida di Rwanda. Meskipun seingat saya, kita juga tidak boleh lupa dengan term pembersihan etnis yang terjadi di Bosnia Herzegovina yang dilakukan Pemimpin Serbia Rodovan Karadzik.

Penggalan kalimat lain yang sempat saya kutip bahwa intoleransi dan brutalitas bisa ditaklukkan. Sekuat bagaimanapun intoleransi dan brutalitas dipraktikan, bila manusia memiliki kesamaan persepsi dan aksi untuk menebarkan cinta dan perdamaian dalam berbagai perwujudannya, maka pasti intoleransi dan brutalitas itu akan takluk dengan sendirinya. Gusmen juga menyampaikan solusi bahwa counter dari intoleransi sudah pasti toleransi. Menurut Gusmen toleransi secara totalitas adalah baik. Di mana pun di dunia ini, bila konsep toleransi yang diamalkan pastilah akan menciptakan situasi yang kondusif. Tetapi sebaliknya bila kita memelihara sikap intoleran maka selalu akan menimbulkan duka dan nestapa kemanusiaan.

Mungkinkah brutalitas menjadi bagian dari modernitas? mungkin karena brutalitas itu sengaja muncul di era modern ini, sehingga terkesan bahwa modernitas melahirkan brutalitas. 

Memang pada akhirnya modernitas hanya akan memunculkan dua hal yang paradoks, yakni exellency dan stagnancy. Exellency ditandai dengan adanya penemuan dan rekognisi baru, sedangkan stagnancy berwujud ketiadaan kemajuan atau bahkan kemunduran beberapa langkah. Ungkapan di atas pada satu sisi juga dipandang benar karena modernitas selalu akan melahirkan hal yang identik dengan barbarianism sebagai ajang pembuktian kekuatan produk pemikiran berupa persenjataan super canggih. Namun pada sisi lain, modernitas justru melahirkan kemajuan dan menciptakan peradaban yang selalu terbarukan. 

Penggalan kalimat lain yang diungkap Gusmen bahwa perbedaan sebagai fakta namun dapat diadaptasikan dalam pergaulan. Memang disadari sepenuhnya bahwa heterogenitas merupakan hukum alam. Hal ini tidak berarti bahwa ketika terjadi perbedaan, maka yang akan disodorkan adalah permusuhan atau yang dipertajam adalah perselisihan. Justru dengan keperbedaan itu merupakan jagat penanda bahwa kita harus bersatu, seiring sejalan dengan menegedepankan kesamaan dari berbagai sisi.
Selanjutnya, Gusmen mengirim pesan yang menggelitik nalar akademik kita bahwa tidak ada sejarah yang tidak ditandai dengan toleransi. Sejarah yang baik pasti dilakoni oleh orang-orang yang baik, sehingga meninggalkan cerita dan karya yang baik. 

Fitrah manusia sejatinya adalah baik, meski terdapat pula celah keterbalikannya. Membangun sesuatu yang baik selalu dimulai dengan toleransi berupa kebersamaan. Membangun bangsa ini ditandai dengan kebersamaan visi dari founding father bangsa. 

Toleransi sudah difragmentasikan oleh Hatta dan Agussalim ketika menerima Maramis dan delegasi Indonesia Timur lainnya yang menyoal tentang Piagam Jakarta dan melahirkan kesepakatan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Persitiwa ini terjadi karena didasari oleh toleransi dan kedamaian, bukan brutalitas.