UJARAN KEBENCIAN DALAM PERSPEKTIF HADITS NABI

Lily Ulfia, SE 22-10-2018 (08:40:44) Opini 16596 times
Penulis : Muhammad Akbar, Dosen Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Kendari

Kasus ujaran kebencian atau hate speech menjadi satu kasus yang banyak menyita dan menguras perhatian bangsa Indonesia beberapa tahun terakhir. Sejak tahun 2014 misalnya telah beredar sejumlah video ceramah di media online yang secara eksplisit menyerukan pada penontonnya menghunus pedang untuk membunuh atau menyingkirkan anggota keagamaan tertentu, seperti video KH. Abdul Qohar (Ketua FPI) Jawa Barat yang diunggah di youtube. Contoh lainnya, kegiatan Deklarasi Nasional Anti Syiah pada 20 April 2014 yang diadakan untuk membentuk milisi yang akan memburu kelompok-kelompok yang dituduh sesat (Ahnaf & Suhadi, 2014). Di tahun 2016, kasus ujaran kebencian menimpa Presiden RI Joko Widodo melalui sebuah buku berjudul ‘Jokowi Undercover’ yang ditulis Bambang Trimulyono (Wulandari, 2017). Di tahun 2017, kasus ujaran kebencian justru semakin tidak terbendung, tribun news misalnya melaporkan bahwa tahun ini ujaran kebencian meningkat signifikan karena menjadi kasus terbanyak kedua setelah penipuan yang ditangani oleh POLRI, salah satunya adalah tereksposnya kelompok Saracen (tribunnews.com. 31 Desember 2017). Di tahun 2018 ini, hanyadalamrentangwaktuJanuari-Februari bahkan Polri sudah men-tersangka-kan 18 pelaku ujaran kebencian (kompas.com. 21 Februari 2018).

Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah merespon kasus ujaran kebencian dengan menetapkan undang-undang terkait. Mengamati fenomena ujaran kebencian yang basisnya adalah media informasi dan elektronik, maka pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika mengesahkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Kemenkumham, 2008). Hal tersebut direspon oleh POLRI dengan menerbitkan Surat Edaran KAPOLRI Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (POLRI, 2015). Bahkan MUI telah mengeluarkan fatwa No. 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial (Komisi Fatwa, 2017).

Baik undang-undang, surat edaran POLRI, maupun fatwa MUI, serta sejumlah himbauan ormas sesungguhnya menjadi bukti nyata perhatian dari pihak berwenang untuk meng-counter fenomena ujaran kebencian, sekaligus wujud kesadaran bahwa kasus ujaran kebencian menjadi ancaman bagi kedamaian dan kesatuan bangsa Indonesia. Dalam konteks keindonesiaan, sebagai bangsa dengan umat Islam terbesar di dunia, Indonesia tentu memiliki peluang besar dalam meredam kasus ujaran kebencian melalui pendekatan teologis-normatif yaitu dengan al-Qur’an dan Hadis Nabi saw. Islam sebagai agama universal, melalui al-Qur’an dan Hadis Nabi jelas melarang dengan tegas perilaku ujaran dan tindakan yang mengarah kepada timbulnya ketersinggungan dan kemarahan pihak lain.

Hanya saja, peraturan perundangan dan edaran POLRI tidak menunjukkan ‘keakraban’ dengan teks al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman utama umat Islam yang banyak terlibat dengan kasus ujaran kebencian, baik sebagai pelaku maupun sebagai korbannya. Komisi Fatwa MUI justru yang cukup memberi petunjuk terhadap teks al-Qur’an dan Hadis Nabi sebagai pertimbangan dalam menetapkan fatwa nomor 24 tahun 2017.Fatwa tersebut misalnya menggunakan beberapa ayat al-Qur’an seperti QS al-Hujurat/49: 11, QS al-Humazah/104: 1, QS al-Qalam/68: 10-11 menjadi landasan pengharaman ujaran kebencian. Sementara hadis yang digunakan misalnya hadis yang memberi kecaman dan larangan menggunjing dan menyebarkan ke masyarakat (HR Muslim dari Abdullah bin Mas’ud tentang al-‘Adhu) dan larangan ghibah dan fitnah (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah tentang ghibah). Namun sejumlah dalil yang dikemukakan dalam fatwa tersebut belum memberi gambaran secara komprehensif tentang ujaran kebencian dalam perspektif al-Qur’an dan Hadis.

Nabi Muhammad yang diutus sebagai ‘aktor’ untuk memerankan wahyu Allah (baca: al-Qur’an) dan diyakini menjadi rujukan yang berlaku universal tak terbatas waktu dan ruang (shalih li kulli zaman wa makan), sejatinya memosisikan ungkapan dan sikap Nabi Muhammad saw. dalam menghadapi fenomena ujaran kebencian di kala itu sebagai petunjuk utama bagi umat untuk menyikapi fenomena ujaran kebencian.Dalam sejarah Nabi saw., beliau menunjukkan respon yang berbeda terhadap beberapa kasus yang dianggap mengandung penghinaan atau pelecehan, adakalanya beliau merespon dengan tegas disertai kecaman dan adakalanya beliau merespon dengan tenang dan bersabar. Pemahaman konteks riwayat sejarah Nabi saw tersebut menjadi satu alasan bahwa kajian terhadap hadis Nabi saw. terkait ujaran kebencian sangat urgen dalam rangka mendapatkan keteladanan beliau dalam arti memahami makna ujaran kebencian dalam perspektif Nabi saw, standar dan kriterianya, serta efek dan akibatnya baik secara individual maupun komunal kepada pelaku dan korbannya.

Selain itu, sisi lain menunjukkan bahwa berbagai tuduhan mengarah kepada Nabi saw. yang dianggap justru mendukung ujaran kebencian dengan beberapa ungkapannya (misalnya hadis yang menafsirkan ayat terakhir surah al-Fatihah yang menyatakan bahwa orang Yahudi dimurkai dan orang Nasrani tersesat). Sebagian pihak menggunakan riwayat-riwayat yang terkesan mengandung unsur ujaran kebencian untuk mempertegas tuduhan tersebut. Termasuk dalam hal ini, fenomena dakwah dan penyampaian ajaran agama yang juga diklaim sebagai perbuatan menebar kebencian, seperti kasus yang menimpa Tifatul Sembiring. Dia menuai kecaman karena dianggap menyinggung kaum homoseksual setelah membuat status twitter tentang hadis yang menyatakan bahwa ‘Siapa yang mengerjakan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah’ (Republika, 26 Februari 2016). Atau kasus-kasus sejenisnya, seperti menyampaikan kritik atau komplain terhadap paham yang berbeda, yang berada pada wilayah ‘abu-abu’ untuk diklaim sebagai ujaran kebencian. Perihal tersebut juga mendukung urgensi kajian hadis secara serius untuk menjadi bahan klarifikasi sekaligus memahami pesan Nabi saw dengan baik dan menjalankan dakwah dengan benar. Sehingga dengan gambaran komprehensif atas hadis Nabi saw., maka berbagai persepsi ujaran kebencian menjadi jelas dan klaim ceroboh yang mengatasnamakan Nabi atau Islam dapat dianulir. Lebih dari itu, secara teologis-normatif, umat Islam akan member perhatian lebih serius terhadap ujaran kebencian dengan alas an dosa dan mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.