Program Drakor LPPM IAIN Kendari Bahas Pentingnya Otoritas Keilmuan Bagi Penafsir Teks Agama

Lily Ulfia, SE 10-05-2020 (21:43:38) Berita 1618 times

Kendari, Humas – Pandemi virus korona yang melanda Indonesia dua bulan terakhir, tidak menyurutkan semangat pengabdian sivitas akademika IAIN Kendari. Aktifitas pengabdian terus dijalankan melalui program virtual salah satunya program Daurah Ramadhan Corner (Drakor) yang digagas oleh Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat LPPM IAIN Kendari, Minggu (10/5/20).

Diskusi virtual ini mengangkat topik “Menakar Otoritas Keilmuan dalam Memahami Teks Keagamaan di Era Disrupsi. Tak kurang dari 500 partisipan ikut serta dalam diskusi baik melalui aplikasi zoom maupun youtube yang menghadirkan pakar tafsir Dr. Phil. Sohiron Syamsuddin, MA, Plt. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dr. Abdul Gaffar, M.Th.I, Kepala Pusat Pengabdian kepada Masyarakat LPPM IAIN Kendari.

Rektor IAIN Kendari, Prof. Dr. Faizah Binti Awad, M.Pd memberikan apresiasi kepada LPPM yang telah menginisisasi kegiatan virtual tersebut sebagai salah satu sarana diskusi produktif di tengah pandemi COVID-19. Kegiatan ini menjadi pengganti kegiatan pengabdian masyarat yang seyogyanya dilaksanakan di tengah masyarakat. Dia berharap, kegiatan ini dapat dilaksanakan secara berkala selama kita diharuskan bekerja dari rumah.

“Mengenai pemilihan topiknya, saya rasa ini sangat tepat karena melihat realitas terlalu banyak masyarakat yang mudah menafsirkan tanpa memiliki keilmuan yang mumpuni sehingga memberikan pemahaman yang bias terutama yang disebar pada media sosial,” tambahnya.

Sebagai pembuka, moderator Abdul Muiz, M.Th.I, menjelaskan bahwa tema yang diangkat berangkat dari kegelisahan terhadap maraknya penafsir Alqur’an dan Hadits yang hanya melihat terjemahan tanpa memahami konteks dan historis dari turunnya dalil tersebut. Dosen IAIN Kendari yang tengah menempuh studi doktoral pada UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu juga memastikan para narasumber memiliki kompetensi keilmuan yang mumpuni untuk mengulas secara detail terkait kapasitas keilmuan yang harus dimiliki oleh seorang mufassir.

Penjelasan mengenai pentingnya latar belakang keilmuan mufasir ini diuraikan oleh Dr. Sohiron. Dia mengungkap pemikiran Abdullah Said mengenai tiga kelompok penafsir Alqur’an. Pertama kelompok tekstualitas yang menafsir hanya dengan mengandalkan terjemahan tanpa pemahaman kontekstual. Yang kedua, kelompok semi tektualitas. Kelompok ini hamper sama dengan kelompok sebelumnya, namun memilih untuk menggunakan idiom modern sehingga mudah diterima masyarakat.

“Sedangkan kelompok yang ketiga adalah kelompok kontekstualitas, kelompok ini menafsir Alqur’an dengan pemahaman yang luas berdasarkan konteks sejarah dan maqashid. Kelompok ini memanfaatkan wawasan keilmuannya untuk mendalami makna dari firman Allah Swt.   

Dalam pemaparannya, alumni McGill University Canada ini juga menjelaskan pemikirannya mengenai metode yang dia sebut Ma’na cum Maghza. Metode ini berusaha mengakomodasi pendekatan interpretasi klasik yang berbasis pada Ulum Alqur'an dan interpretasi progresif yang berbasis pada pemahaman kontekstual pada masa wahyu itu diturunkan (abad ke 7 masehi) maupun pada konteks masyarakat kekinian.

“Apabila metode ini diterapkan oleh para mufassir untuk mencari makna dari ayat Alqur'an maka mereka dapat menemukan signifikansi dari ayat-ayat tersebut,”paparnya.

Lebih lanut ia mengatakan, pemahaman terhadap bahasa Arab juga diperlukan mengingat bahasa memiliki aspek tetap dan aspek yang berubah atau dinamis baik dari sisi struktur maupun maknanya. Apabila seseorang menafsirkan tanpa memiliki pemahaman bahasa maka akan kesulitan memahami konteks dari diturunkannya sebuah ayat Alqur’an

Sementara itu pada dimensi penafsiran hadits , Dr. Abdul Gaffar lebih mengkhususkan diwajibkannya kehati-hatian dalam memaknai hadits dikarenakan beberapa hal. Diantaranya adanya pencampuran antara lafal Nabi dan lafal sahabat demikian pula pada perbuatan ataupun sikap mereka.

“Itulah pentingnya kita memahami konteks hadits sebab bisa saja pada hadits tersebut nabi sebagai subyek maupun nabi sebagai obyek. Perlu memperhatikan banyak hal misalnya peristiwa dibalik hadits, kondisi kultur masyarakat saat itu maupun kondisi psikologi masyarakat yang tengah dihadapi nabi,” tambahnya.

Berdasarkan penjelasan di atas,  pada akhir diskusi Abdul Muiz, M.Th.I menyimpulkan pentingnya kemapanan keilmuan sebelum menafsirkan Alqur’an dan hadits. Dia juga mengingatkan kepada para intelektual muslim untuk meningkatkan kapasitas keilmuan sebelum penafsiran dalil agar dapat mengurangi kesalahan penafsiran yang berdampak negatif terhadap umat.

Program Drakor telah dimulai sejak Sabtu, 9 Mei 2020, dengan topik “Fiqih Pandemi Perspektif Madzhab Qauli dan Manhaji”. Kegiatan ini menghadirkan  pemateri dosen Fiqih IAIN Pare-pare, Dr. M. Ali Rusdi Bedong, S.HI, M.HI dan dosen Fiqih IAIN Kendari Dr. Ahmad, Lc, M.Th.I. Drakor akan kembali hadir Kamis mendatang (14/5/20).