GENEALOGI HIJRAH: DARI NILAI-NILAI MORALITAS KESALEHAN MENUJU “SIMBOLISASI ISLAMI” DI ERA DIGITAL

Lily Ulfia, SE 24-10-2019 (10:59:13) Opini 4523 times
Penulis: Abdul Muiz Amir (Dosen Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Kendari)

Secara sederhana istilah hijrah seringkali diasumsikan melalui common sense sebagai “fenomena transformasi prilaku dari simbolik non-syar’i menuju simbolik syar’i”. Asumsi tersebut nampaknya terlalu menyederhanakan sebuah Istilah (simplification), dengan hanya mengacu pada fenomena sosial secara segmented. Namun bila istilah hijrah dikaitkan dengan konsep ajaran Islam melalui kajian literatur-literatur kanonik dalam disiplin ilmu-ilmu ke-Islam-an, maka yang terbesit dalam ingatan adalah riwayat hadis yang diriwayatkan melalui jalur sanad  Umar bin Khattab RA.

عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
(Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perbuatan itu tergantung niatnya, dan tiap-tiap seseorang mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai kehendaknya.) (HR. Muttafaqun ‘Alaih)

Salah satu penggalan kalimat hadis tersebut menyatakan bahwa “Inna-mā al-a‘māl bi an-niyāt...” (Sesungguhnya amalan itu berdasarkan pada niat...). Ungkapan tersebut mengandung pesan moral yang sangat kuat jika ditelaah secara mendalam. Itulah sebabnya mengapa para ulama menempatkan hadis tersebut pada bab Ikhlas dan Niat, khususnya dalam literatur hadis.Bahkan, Imām An-Nawāwī dalamHadīṡ Arba‘īn An-Nawāwī dan Riyāḍ Aṣ-Ṣālihīn menempatkannya pada bab pertama. Hal itu menunjukkan bahwa para pakar hadis menyadari pentingnya persoalan hijrah yang berkaitan erat dengan niat dan ikhlas sebagai refleksi nilai-nilai sosial keagamaan yang dipraktikkan dalam segala hal, baik tutur kata, penampilan, maupun perilaku. Istilah hijrah tidak hanya cukup pada tataran praktik transformasi simbolik semata, melainkan lebih aplikatif pada kesadaran religiusitas dan nilai-nilai moralitas sosial.

Menurut Van der Weij secara substantif, niat dan ikhlas tidak hanya dipahami sebagai sebuah keinginan tulus yang terbesit dalam hati, melainkan niat senantiasa sejalan dengan prilaku yang berdasarkan pada pemikiran yang matang. Pada dasarnya niat identik dengan konsep keimanan yang kokoh. Hal ini senada dengan ungkapan Imām Asy-Syāfi’ī yang menyatakan bahwa iman meliputi; ikrār bi al-lisān (ungkapan dengan lidah), taṣdīq bi al-qalb (dibenarkan oleh hati), ‘amal bi al-jawārīh (pengamalan melalui prilaku). Ini berarti bahwa hijrah dalam konteks hadis tersebut tidak dapat dipisahkan dari konstruksi keimanan melalui resepsi moral yang dilandasi pada nilai-nilai spritualitas. Oleh karena itu, narasi yang dibangun dalam teks hadis tentang hijrah dikaitkan dengan niat dan perilaku. Hal itu ditunjukkan pada asbāb al-wurūdhadis yang mengisahkan salah seorang Sahabat yang ikut hijrah bersama Rasulullah, tetapi tujuannya hanya ingin mendapatkan keuntungan harta dan perhatian dari seorang wanita yang hendak dinikahinya. Penggalan hadis tersebut menyebutkan “man kānat hijratuh ilā ad-dunyā yaṣībuha aw ilā imra’tin yatazawwajaha fahijratuh ilā mā hājar ilaih” (barang siapa yang hijrah hanya karena harta yang hendak dimilikinya, atau wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai dari hijrahnya sesuai apa yang ia niatkan).

Mari sejenak kita telisik transformasi hadis hijrah pada sisi penempatannya ketika ditransmisikan pada literatur-literatur fikih. Hadis tersebut sering dijumpai pada bab-bab ibadah, terutama pada pembahasan “al-ṭahārah” (bersuci). Tampaknya terjadi penekanan orientasi makna hadis yang kemudian dikaitkan dengan syarat sah sebuah ibadah ritual. Misalnya,As-Sarkhasī dalam kitab Al-Mabsūṭ menempatkannya pada bab wuḍū’ (wudhu’). Al-Ṡa‘labī dalam Syarh Ar-Risālah menempatkannya pada bab aṣ-ṣiyām (puasa). Hal itu menunjukkan bahwa hadis tersebut bagi muḥaddiṡūn pada awalnya dikaitkan dengan nilai-nilai moralitas yang termanifestasi dalam perilaku sosial, kemudian ditangan fukaha atau pakar fikih dimaknai sebagai salah satu syarat penting sebelum memulai sebuah ibadah keagamaan. Walaupun demikian, posisi pemaknaan hadis tersebut masih dalam ruang lingkup pesan yang fokus penekanannya pada substansi makna hijrah, sehingga konteks niat yang menjadi barometer dalam menentukan kualitas sebuah ibadah masih dapat dipahami.

Namun sebaliknya, hadis tersebut akan menjadi berbeda jika ditemukan dalam literatur-literatur Faḍā’il Al-A‘amālatau Tasawuf. Hadis tersebut tampak lebih banyak muncul pada pembahasan motivasi terhadap kesadaran untuk meninggalkan perbuatan maksiat atau sebuah jalan menuju kehidupan yang lebih baik. Misalnya, Abū Bakar Al-Baihāqī dalam Kitāb Al-Zuhud Al-Kabīr menempatkan hadis hijrah pada bab“Tarku ad-dunyāwa mukhālafah an-nafs wa al-hawā’” (meninggalkan urusan dunia dan berpaling dari hawa nafsu). Zakīyuddīn Al-Manzurī dalam At-Targīb wa At-Tarhīb min Al-Ḥadīṡ Asy-Syarīf meletakkannya pada bab “kitābal-jihād” atau jihad. Muḥammad Naṣiruddīn ‘Uwaidah dalam Faṣl Al-Khitāb fī Zuhud wa Al-Raqāiq wa Al-Adāb meletakkannya pada bab “syurūṭ at-tawbah” atau syarat-syarat taubat. Pergeseran orientasi makna hadis tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan makna hadis dari kalangan pakar hadis dan pakar fikih ke pakar tasawuf. Hal ini tentu berakibat pada pesan nilai-nilai moralitas sebagai bagian dari ibadah ritual menuju cara pandang (way of life) terhadap nilai-nilai kesalehan dalam beragama. Meskipun demikian, jika ditelaah lebih mendalam, pesan substansinya masih memiliki relasi yang kuat untuk didialogkan antara istilah niat dan hijrah yang dimaksudkan dalam literatur-literatur tersebut.

Uraian di atas telah menunjukkan pemaknaan hadis tentang hijrah secara genealogi (asal usul), sehingga dapat memberikan gambaran singkat tentang terjadinya transformasi kata hijrah dalam berbagai lintas literatur ilmu-ilmu keislaman. Namun bagaimana dengan pemahaman hijrah yang diadopsi oleh kaum remaja millenial saat ini?. Masihkah dalam koridor pesan signifikansi hadis yang diterapkan? ataukah justru mengalami disrupsi terhadap makna subtansinya?

Kehadiran media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Tweeter, dan Instagram selain sebagai median komunikasi, juga digunakan untuk membuat dan menyebarkan informasi, baik isu terkait politik, ekonomi, hingga ideologi keagamaan. Fenomena tersebut diistilahkan oleh Baym Nancy K.dan Boyd Danah (2012) sebagai “socially mediated publicness”. Kehadiran media sosial dan netizen di tengah kompleksitas peroblematika hidup nampaknya telah berhasil melahirkan sebuah kekuatan baru “The Power of Netizen” yang juga ikut menjadi bagian dari konstruksi realitassosial sebagaiman istilah yang diperkenalkan oleh Peter L Berger. Melalui media sosial, seseorang dapat melakukan rekayasa informasi antara kebenaran dan kepalsuan, moralitas dan religiusitas, fakta dan fiktif yang menjadikannya tampak bias dan sulit untuk dibedakan. Selain itu,media sosial tidak hanya berperan sebagai konstruksi sosial terhadap isu-isu politik, ekonomi, budaya, tetapi juga melibatkan konstruksi ideologi keberagamaan yang lebih dominan disajikan dalam bentuk nuansa simbolik.

Para sosiolog dan antropolog terkemuka telah merumuskan berbagai teori tentang simbol di antaranya. Max Weber dengan teorinya “simbolic interactionism”. Weber memandang bahwa tindakan sosial seseorang dipengaruhi melalui interpretasi dan komunikasi terhadap lingkungan di sekitar yang dipengaruhi oleh berbagai macam simbol. Sedangkan, Cliffort Geertz memandang bahwa keinginan disertai dorongan perasaan “moods and motivations” yang dapat memengaruhi tindakan dan perilaku seseorang. Teori tersebut kemudian membuat Geertz berkesimpulan bahwa agama pada dasarnya adalah sebuah sistem simbol. Geertz bahkan memandang bahwa simbol-simbol agama dapat membuat seseorang mudah untuk mengasumsikan sebuah konsepsi terhadap sesuatu yang dianggapnya benar atau salah. Talal Asaddalam hal ini agak berbeda dengan Geertz. Menurut Asad bahwa simbol tidak serta merta melahirkan sebuah konsepsi, melainkan simbol merupakan hasil dari konsep itu sendiri.

Demikian halnya, Pierre Bourdieu menganggap modal simbolik juga berperan sebagai alat untuk melanggengkan dogma kekuasaan, selain dari modal ekonomi, sosial dan budaya. Berangkat dari hal itu, maka dapat diasumsikan bahwa media sosial dapat berfungsi sebagai salah satu arena (field) intervensi sebuah ideologi yang efektif, karena dapat digunakan secara bebas untuk menyebarkan informasi tanpa melalui filterisasi dan validasi, sebagaimana istilah yang diperkenalkan oleh Nadirsyah Hosen “saring sebelum sharing. Kondisi itu kemudian dimanfaatkan oleh para penggiat hijrah untuk menyebarkan ideologi mereka, dengan menggunakan kuasa simbol-simbol “Islami” sebagai modal yang terus menerus diproduksi hingga bertransformasi menjadi habitus. Simbol-simbol tersebut kemudian melekat sebagai sebuah sistem tanda identitas terhadap eksistensi kelas sosial tertentu untuk mendominasi kelas-kelas sosial lainnya. Dalam hal ini, Antonio Gramsci menyebutnya dengan hegemonic social control. Kehadiran konstruksi interpretasi tunggal terhadap simbol-simbol agama yang dibangun melalui kuasa teks secara subyektif kemudian dijadikan sebagai legitimasi pembenaran terhadap makna satu-satunya yang dapat diterima oleh publik. Pada saat itu, pemaknaan sebuah simbol dapat diterima dengan baik di satu sisi dan di sisi lain menolak makna lain dari simbol yang sama.

Secara historis, gerakan hijrah melalui media sosial dimulai pasca runtuhnya rezim orde baru. Indonesia seolah mendapatkan kemerdekaan baru yang ditandai dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Lahirnya berbagai ideologi keagamaan secara masif dipertontonkan melalui berbagai media, utamanya media sosial. Pada satu sisi, hijrah yang dilakoni oleh kaum remaja millenial merupakan sebuah pergerakan positif, sebab dapat menunjukkan kesadaran religiusitas yang jarang ditemukan pada era orde baru, sehingga mereka tersadarkan akan pentingnya spritualitas hidup. Namun di sisi lain,yang perlu diwaspadai dari gerakan hijrah tersebut adalah penyusupan ideologi kelompok-kelompok tertentu yang bertentangan dengan norma-norma moralitas dan nilai-nilai dasar negara, UUD-45 dan Pancasila. Demikian pula, penanaman kesadaran pluralitas bermasyarakat menjadi penting, sehingga tidak mudah terpapar provokasi dengan tujuan memecah belah persatuan dan kesatuan ukhuwah islāmiyah, insāniyah, dan waṭaniyah.

Kehadiran beragam kelompok yang mengusung berbagai ideologi keagamaan tentu saja tidak semuanya memiliki tujuan yang aṣlah (menginginkan perbaikan). Diantara mereka ada yang sengaja menjadikan agama sebagai komoditi politik demi kepentingan subyektif.  Demikian pula, peluang media sosial yang sangat terbuka dapat dimanfaatkan oleh setiap kelompok ideologi untuk mengambil bagian dalam menyuarakan pandangan mereka tentang ajaran Islam yang ideal secara subyektif. Berbagai cara pun mereka tempuh. Diantaranya dengan meng-upload berbagai konten motivasi, nasehat, ceramah, kritik, hingga kecaman, baik dalam bentuk narasi teks, video, memes, dan sejenisnya. Isu yang diungkap ke permukaan meliputi cara berpenampilan sesuai “syar’i”, tata cara beribadah berdasarkan “sunnah” sesuai versi mereka, hingga kritik terhadap berbagai praktik-praktik ajaran Islam yang selama ini mereka anggap “menyimpang”. Fenomena tersebut seketika mengubah wajah Islam Indonesia dari ideologi ajaran Islam yang dikenal bersifat multikulural dengan berusaha mengakomodir norma-norma kearifan lokal sebagai bentuk negosiasi terhadap prakti-praktik keberagamaan, kemudian menjadi Islam yang bernuansa “Arabisasi” atau biasa dikenal dengan istilah ideologi Islam Transnasional.

AM. Amir dalam “The Identity of Godliness in the Digital Age (Study of the Use of Religious Symbols in Social Media)” mengungkapkan bahwa kalangan remaja merupakan obyek sasaran yang mudah terpapar oleh ideologi Transnasional, terutama mereka yang belum pernah mengecam pendidikan melalui Pondok Pesantren. Afifuddin dalam penelitiannya juga mengungkapkan bahwa kalangan remaja yang mudah terpapar ideologi tersebut adalah mereka yang tidak memiliki dasar ilmu agama, serta hanya berlatar belakang keilmuan eksakta. Sebab, mereka hanya diajarkan kepastian sesuatu tanpa ada pilihan yang lain. Hal ini membuat mereka hanya mengenal hitam-putih, benar-salah, halal-haram dan seterusnya. Itulah sebabnya ajaran agama yang disajikan oleh kaum transnasional lebih mudah merekapahami, karena dapat diterima oleh logika sederhana, sehingga tidak membutuhkan kajian yang rumit atau berbagai modal keilmuan yang super “njelimet”. Selain itu mereka lebih cenderung memahami Al-Qur’an dan Hadis menggunakan terjemahan literal yang disertai penjelasan melalui “kitab google” atau “kitab youtube”. Bahkan terkadang nampak hanya dicocok-cocokkan berdasarkan nalar tekstual mereka (cocoklogi).

Implikasinya adalah Islam dipahami hanya pada sisi permukaan(surface structure), sehingga dominan menonjolkan simbol-simbol dari pada substansi ajaran Islam itu sendiri. Simbol itulah yang kemudian diekspresikan sebagai identitas yang khas, sesuai ideologi yang mereka anut. Selain itu, moralitas seakan terabaikan, keangkuhan karena merasa telah berada pada titik keberislaman yang paling benar “truth clime” telah membutakan mata mereka terhadap keragaman sebagai sebuah keniscayaan. Adab kepada ulama, guru, orang tua, dan teman sejawat terabaikan, predikat sesat, ṭāgūt, hingga kafir pun mereka sematkan, khususnya kepada orang-orang yang tidak sepaham dengan ideologi mereka. Doa dengan nada mengancam tidak segan mereka teriakkan untuk melegitimasi bahwa mereka sedang “terzhalimi”. Gerakan itulah yang diistilahkan oleh Anne Rasmussen sebagai “the soundscapes”.

Akhirnya sebagai kesimpulan sederhana berdasarkan penjelasan tersebut di atas bahwa pergeseran pemahaman tentang hijrah telah mengalami disrupsi dari substansi ajaran Islam berdasarkan konsep “raḥmatan lil ‘ālamīn”. Hijrah pada awalnya dipahami sebagai proses penajaman spritualitas keberagamaan yang berorientasi pada nilai-nilai moralitas sosial. Namun melalui konstruksi media sosial kini telah bergeser menjadi ekspresi identitas yang menciptakan kelas-kelas sosial baru melalui pengejawantahan simbol-simbol agama yang tampak “radikal, mengerikan, dan jumud”. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh berbagai ideologi transnasional yang bertujuan untuk mencabut akar ajaran Islam yang moderat (tawaṣṣuṭ) melalui metode akulturasi.Jika Islam pada masa awal dikenal melalui konsep akhlakkarīmah dan penguasaan ilmu pengetahuan yang mendalam, maka Islam melalui media sosial saat ini ditandai dengan berbagai simbol-simbol identitas yang bercirikan kekhasan ideologi masing-masing, serta kajian keilmuan serba instan yang lebih senang dengan tradisi plagiasi secara taken for granted. Akhirnya, harapan besar disematkan kepada para generasi pelanjut bangsa untuk lebih memantaskan diri sebagai “agent of change” yang berdampak positif melalui pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai moral spritualitas moderat yang sesuai dengan ruh agama dan bangsa,yaitu menciptakan suasana baldatun ṭayyibatun wa rabbun ghafūr. Wallahu A’lam.